Linangan air mata tidak
bisa terbendung ketika menyaksikan Pak Anggara berdiri lunglai di balik jeruji
besi itu. Baru dua hari terdengar kabar bapak ini bermalam di rumah berpintu
jeruji besi itu. Tetapi seperti sudah bertahun lamanya, hanya dengan
menggunakan baju kaos dan celana pendek saja, terlihat matanya cekung, rambut
yang mulai panjang terlihat kusut tak beraturan, kumis dan jenggot mulai
bermunculan, kuku tangan dan kaki panjang yang hitam tak terurus. Tak tega Aku
melihat kondisi ini. Kurogoh saku bajuku. Kutemukan kontak motorku yang
memiliki mainan pemotong kuku.
“Potong
kuku dulu, Pak!” pintaku sambil memberikan mainan kontak motorku di selah-selah
jeruji besi.
“oh
iya terima kasih” sahut Pak Anggara sambil mengambil nya dari tanganku, kulihat
Dia memotong kuku, tangannya gemetar seakan-akan ada beban yang begitu berat
yang ada di pundaknya saat ini. Kulihat mata Bapak yang cekung itu sedikit
berlinang walau tak ada yang tumpah...belum lagi wajahnya yang mulai menua
terlihat pucat tak bergairah. “sudah” ucap nya sambil mengembalikan gunting
kuku pada ku.
“Kakinya
belum pak” komentarku sambil menunjuk kebawah ke arah kaki beliau yang kukunya
panjang dan sudah menghitam, Beliau pun tersenyum walau terkesan dipaksa sambil
mencari tempat duduk untuk memotong kuku kakinya. Kemana gagahnya Pak Anggara selama
ini?. kemana kekuasaan Pak Anggara selama ini?.
Baru
kemarin melihat Pak Anggara begitu gagah dengan perawakan tinggi dengan postur
tubuh yang ideal menggunakan pakaian seragam warna krem berdiri tegap di tengah
lapangan sekolah sebagai pembina upacara bendera di sekolahku. Hari ini
kondisinya berubah seratus delapan puluh derajat. Masih berasa mimpi, sekejap
saja kejadian hari itu merubah nasib seseorang. Dari seorang pemimpin menjadi
seorang tersangka, dari seorang terhormat menjadi terbengkalai, dari seorang
yang gagah dan penuh semangat menjadi orang yang tak bergairah, dari berkuasa
menjadi tak berdaya.
Teeet...teeet....spontan suara klakson
mengejutkan aku dari ingatanku tentang kondisi Pak Anggara yang barusan kami
kunjungi.
”Astaghfirullahal’azim....Alize,
itukan Alize dan Dine”, Alize dan Dine hanya tersenyum seakan tidak terjadi
apa-apa, merekapun meluncur melanjutkan perjalanan. hampir saja mobil Fortune
yang membawa Aku dan kawan-kaan menabrak honda Specy yang sedang dikendarai
Alize yang tiba-tiba melesat kencang memotong mobil Fortuner. Kami semua
benar-benar terkejut dan secara spontan secara koor beristighfar kepada Allah.
Tidak terbayangkan rasanya jika kecelakaan terjadi mobil guru menabrak motor
muridnya sendiri. Bisa jadi fokus dan memviral berita tentang sekolahku, belum
selesai masalah satu sudah muncul masalah baru lainnya.
Kurang lebih 30 menit kami
menelusuri jalan dari kantor Polresta Bengkulu menuju Betungan rumah Viola
salah seorang guru di sekolahku. Selama di perjalanan semua diam, hening,
membisu. Sebanyak enam orang, aku dan teman-teman sesama mengajar di satu
sekolah dengan menggunakan kendaraan mobil Fortuner ibu Hj.Andini. Semua masih
terbawa ke alam emosi yang sama yakni rasa kecewa, rasa sedih bercampur haru
yang mendalam dengan kondisi yang
dialami Pak Anggara di balik jeruji besi
itu. Ya Allah kapankah semua ini berakhir? Bathinku sambil mendesah menarik
nafas yang panjang.
Tanpa
disadari Aku dan kawan-kawan sudah berada depan rumah Viola, di sana sudah
terlihat ada beberapa muridku, teman-teman sesama guru dan sebagian perwakilan
komite wali murid sekolah tempatku
mengajar. “Ingat ya misi kita kemari tiada lain ingin menyampaikan satu kata
“damai”, kata seorang temanku kembali mengingatkan agar semua bisa menjaga
lisan masing-masing jangan sampai ada yang terpancing dan terbawa emosi yang akan
memperkeruh suasana yang tidak baik.
Di
ruang tengah rumah kutemukan Viola sedang duduk berselonjor dengan beralaskan
kasur yang mulai menipis, bersandar pada dua bantal di punggung sebagai penyanggah
pinggang Viola yang masih terasa sakit.Raut wajahnya masih memperlihatkan rasa
duka yang mendalam. Mata sebelah kiri Viola masih membiru, kuperhatikan sesekali
masih terlihat ekspresi meringis diwajahnya ketika matanya mau bergerak dan berinteraksi
ke kiri. Belum lagi bathin Viola yang gelisah dan berkecamuk dengan musibah
yang menimpanya. Traumatik terjadi pada dirinya, tanpa disadari kadang air mata
mengalir deras tak terbendung, kadang viola berteriak kencang mengejutkan seisi
rumah. Betapa galaunya hati Viola di satu sisi dia tidak menerima sudah
dianiaya oleh Pak Anggara. Disatu sisi Viola sedih dan terharu membayangkan Pak
Anggara meringkuk kedinginan di balik jeruji besi itu.
“Maafkan
aku Pak Anggara....” bathin Viola berbisik dan menelisik kegalauannya.
Satu
persatu kami menyalami dan memberikan do’a kesehatan untuk Viola. Kondisi yang
beda dari biasanya, rame tapi hening, yang terdengar hanya suara kunyahan
masing-masing orang yang berada di ruangan tengah rumah Viola. Semua pada menikmati
makan buah duku yang manis sekali yang disuguhkan oleh maknya Viola dari daerah
Lampung. Terdengar dialog dari ketua komite dengan Viola, sekali-kali di sela
oleh Ibu Plt. Kepala Sekolah tempat kami mengajar. Sempat terdengar olehku
bahwa semuanya sangat menginginkan Viola cepat sehat baik sehat secara fisik
maupun secara psikisnya, Sekolah masih sangat mengharapkan kehadiran Viola,
baik dari rekan sesama guru maupun semua siswa-siswi di sekolah. Terakhir pesan
dan harapan bersama semoga masalah Viola dan pak Anggara dapat diselesaikan
secara kekeluargaan atau secara damai saja, karena kita adalah satu keluarga
yang sedang berselisih, namanya kita satu keluarga berselisih satu sama lain
adalah hal yang biasa, asalkan endingnya saling memaafkan satu sama lain.
“Semua
ini keputusannya ada sama kamu Vio, bukannya kami tidak marah akan kelakuannya
padamu, tapi damai adalah sikap yang terbaik untuk kedua belah pihak. Baik untuk
dirimu dan baik juga untuk Pak Anggara”.
Viola
bungkam seribu bahasa, dengan mata sayu, mulut terkunci, ketika mendengar kata
damai dari Ibu Hj.Andini sebagai orang yang dituakan di sekolah kami
` Begitu dalam derita yang dirasakan
oleh Viola sejak kejadian yang menimpa dirinya. Mata sebelah kirinya masih
sangat jelas berbekas. Begitu keras pukulan pak Anggara siang itu. Di saat
kejadian, aku sedang berbicara dengan dua orang wali murid kelasku di depan
ruang kepala sekolah, tiba-tiba braaakkk....terdengar samar olehku, tapi jelas
suara benturan terjadi, spontan suasana sekolah jadi gaduh, riuh berlarian
menuju ruang guru, kulihat Pak Anggara berjalan dari depan ruang guru menuju
ruang TU, mukanya kusut, mata memerah, sambil mengoceh, ntah apa yang di
ocehkannya tidak jelas.
Tersirat
Amarah membara di wajahnya. Sempat kutanya,
“Ada
apa Pak?” walau tak dijawabnya, aku pun berlari ke tempat ke gaduhan terjadi di
depan ruang guru. Disana kutemukan Viola yang bergejolak sedang di tenangkan
oleh guru yang lainnya.
“Anggaraaaa....aku
tidak terima di perlakukan seperti ini”. Teriak Viola. Semua mengerumuni Viola
aku pun belum sempat melihat apa sebenarnya yang terjadi dengan Viola, ku tanya
kesana kemari, taunya semua sama denganku belum tau kejadian yang sebenarnya.
Terlihat
olehku Pak Anggara berjalan kembali menuju ruang guru, mukanya mulai tenang.
Sepertinya dia sudah menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah salah dan
merasa mulai menyesali diri yang tersulut emosi dan amarah. Entahlah apa yang
membuat Anggara begitu marah sehingga tinjunya mendarat di pinggir mata sebelah
kiri Viola. Akhirnya kutemukan Viola dengan mata sebelah kiri memerah dan mulai
membengkak. Aku pun merinding melihatnya...
”Astaghfirullahal’aziim” kenapa bisa
seperti ini Vio?” kupeluk Viola. Aku tak sanggup melihat mukanya.
“Tidak
usah nangis Selly, Ini gara – gara Faras! Teriak Viola. Mendengar nama Faras
disebut-sebut Viola, menambah kebingunganku akan semua ini. Yang di tinju
Viola, yang meninju Anggara , kenapa Faras yang salah yaa?. Sepertinya ada masalah antara Viola sebagai
guru yang sedang membimbing siswa, dengan Anggara kepala sekolah, serta Faras
sebagai bendahara di sekolahanku.
Viola
yang masih bergejolak tidak terima empati dari Anggara. Maksud Anggara mau
minta maaf ke Viola dan mau mengajak Viola berobat. Melihat wajah Anggara masuk
ruang guru, serta merta Viola lepas kontrol dan berdiri menghardik Anggara. Akhirnya
Anggara di bawa keluar oleh salah seorang guru laki-laki.
“Sudahlah
pak, sepertinya kondisi belum terkendali. Sebaiknya bapak pergilah dulu dan
keluar dulu dari lingkungan sekolah ini”. Pintanya.
Anggarapun
berlalu dan pergi meninggalkan sekolah, entah kemana. Tak berselang lama Violapun
pergi meninggalkan sekolah. Entah apa yang menggerakkan kaki Viola, dia pergi
ke rumah sakit melakukan visum ke RSUD M.Yunus Bengkulu. hasil visum pun
dibawanya ke salah satu Polsek di kota Bengkulu dengan judul laporan Penganiayaan
Anggara atas dirinya. Siang itu juga sekolah kami banyak didatangi orang-orang
media maupun para jajaran pemerintahan. Santer sudah sekolah kami jadi fokus
berita di semua media, baik media lokal maupun media nasional. TV lokal hampir
tiap hari tiap malam memberitakan kasus ini. Desakan, tekanan dari beberapa
kalangan menerpa Anggara, akhirnya Anggara pun dinonaktifkan dari jabatan
kepala sekolah, sekolah kamipun dipimpin oleh seorang Ibu Plt. kepala sekolah dari
Diknas Kota Bengkulu. Berselang beberapa hari kemudian sampai juga ke telingaku
bahwa Anggara sudah di ruang berjeruji besi itu.
Tersentak
sudah semua penghuni sekolah mendengar Anggara dua malam ini sudah tidur di
ruangan berjeruji besi. Kenapa harus berakhir seperti ini? Kemana hati nurani
kita sebagai teman seperjuangan, sebagai satu naungan keluarga PGRI, sebagai
murid terhadap guru. Kemana kata perdamaian yang selama ini yang kita ajarkan
dan kita tawarkan ke anak didik kita. Rasa simpatik mulai bermunculan untuk
Anggara. Apalagi terdengar viola mau melanjutkan masalah ini ke meja hijau. Tidak
disangka Viola akan tega melakukan ini...
Beberapa
kali dilakukan mediasi dari dinas pemerintahan dan dari pihak keluarga terdekat
agar kasus ini dapat diselesaikan dengan damai dan kekeluargaan saja. Karena
sangatlah butuh energi, waktu dan materi kalaulah kasus ini sampai ke meja
hijau. Apalagi kondisi kesehatan Anggara hari demi hari semakin melemah. Kasus
ini benar-benar kekhilapan dirinya yang tidak terkira akan berakhir seperti
ini. Anggara sadar bahwa semua ini sudah takdir dari Allah SWT. Tapi tetap saja
kejadian ini membuat dirinya labil. Dalam sekejap dirinya menjadi tenar sebagai
seorang penganiaya, dalam sekejap jabatan kepala sekolah nya dinonaktifkan,
dalam sekejap dirinya sudah di ruangan pengap dan sempit. Ini semua membuat
Anggara drop baik fisik maupun mentalnya.
Seperti
biasa kegiatan silaturahim siang ini ditutup do’a bersama. Inti dari do’a Aku
dan kawan-kawan adalah agar kiranya musibah yang menimpa sekolahku dapat
terselesai dengan baik sehingga Pak Anggara dan Ibu Viola dapat saling memaafkan
satu sama lain dan bisa mengintropeksi kesalahan masing-masing, kenapa musibah ini
sampai terjadi. Harapan terakhir bagaimana masalah ini cukup diselesaikan di
meja biasa jangan sampai ke meja hijau.
Akhirnya
tibalah saatnya kami berpamitan ke Viola dan keluarga. Semua sudah angkat
bicara. Dimulai dari perwakilan komite atau orang tua murid, dari perwakilan
siswa, dan terakhir dari Plt. kepala sekolah semua satu kata yakni “Damai”,
mari kita berdamai. Sampai detik ini belum ada angin segar berhembus dari
Viola. Sedangkan di luar sana terlihat langit sudah keberatan menahan mendung
yang sebentar lagi akan tumpah ke bumi. Hari mulai gelap seperti mau malam,
padahal jam masih menunjukan pukul 15.00 Wib. Petir dan guruh mulai bersahutan.
Tiba-Tiba
handpone ibu kepala sekolah berdering, mengalihkan semua perhatian kami yang
sedang berpamitan bersalaman dengan Viola dan keluarganya.tidak tau siapa yang
sedang menelpon, terdengar oleh kami ibu PLT kepala sekolah berucap
“Innalillahiwainnailaihirojiun...” Sontak semua mata kami mengarah ke beliau,
tidak sabar rasanya menunggu ibu selesai berbicara di handpone. Ibu pun
berjalan menuju Viola sambil berurai air mata ibu mengatakan sesuatu ke Viola:
Tidak ada lagi yang mesti kita damaikan...Pak Anggara sudah pergi Vio,
selamanya...
Sambil
bercucuran air mata, terseok-seok viola melangkah menuju batu nisan yang
bertuliskan “Anggara” penyesalan panjang yang dirasakan Viola tak kunjung
berakhir. Pak Anggara adalah salah seorang guru mata pelajaran yang sangat di
sukai Viola di saat berseragam biru putih. Sampai akhirnya Viola juga menjadi
guru dan menjadi mitra kerja Pak Anggara. Sejak berita kepergian Anggara hari
itu, Viola seperti tersambar petir. Sontak dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Kejadian ini sangat cepat prosesnya. Violapun tak bisa lagi menemui Anggara,
malu bercampur sesal mendalam yang dirasakan Viola sehingga Viola tidak punya
keberanian untuk datang kerumah duka.
“Ah!
Sungguh keras hatiku selama ini! Sungguh tak tau dirinya aku selama ini!
Apa yang harus aku lakukan ya Allah. Aku ingin
kembali pada jalan-Mu...Akankah aku bisa menebus kesalahanku selama ini?
Sejak
kejadian itu Viola sangat pemaaf dan penolong. Hidupnya sungguh terarah menjadi
seorang guru yang sholehah, panutan semua murid-muridnya.
Bengkulu, 30 Agustus 2018
Entah kenapa kali ini lagi ingin berbagi mengukir kehidupan lewat cerpen yaa....
semoga yang baca suka dan bermanfaat dech.
#30DWC
#30DWCJILID14
#DAY9
#30DWC
#30DWCJILID14
#DAY9
Hello pembaca yang sholeh dan sholehah
Terima kasih ya, telah mampir dan baca tulisanku di blog www.firakahar.com ini.
Alhamdulillah wa syukrulillah aku bisa jumpai pembaca dengan menulis di blog, kalaulah ada tulisanku bermanfaat bagin pembaca, jangan sungkan dan ragu untuk di share, follow dan di coment ya.
Aku senang dan bahagia jika ada kritik ataupun masukan yang membangun terhadap tulisan-tulisanku di blog ini.
Jika ada kesempatan untuk bekerjasama boleh hubungi hp/wa-ku: 8117306556, by email_ku: mfwkk@yahoo.com
see you
regard from me
FIRA KAHAR